
Fenomena Pinjaman Mahasiswa di Amerika Serikat
Selama bertahun-tahun, sistem pinjaman mahasiswa telah menjadi cara yang digunakan masyarakat Amerika Serikat untuk dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Bagi banyak mahasiswa, satu-satunya cara untuk mendapatkan gelar adalah dengan berhutang. Namun, di balik impian untuk kuliah, tersembunyi krisis keuangan yang semakin parah. Jutaan mahasiswa kini menghadapi kenyataan sulit setelah skorsing sementara pembayaran yang berlaku selama pandemi COVID-19 berakhir pada musim gugur 2023. Menurut laporan dari The Wall Street Journal dan Business Insider, yang merujuk pada data dari Federal Reserve Bank of New York dan New York Fed, tercatat hampir 5,6 juta peminjam mengalami keterlambatan pembayaran di awal tahun 2025. Tingkat keterlambatan ini melonjak tajam dalam waktu tiga bulan, dari 0,7% menjadi 8%. Bahkan individu dengan riwayat kredit yang sebelumnya baik mengalami penurunan skor kredit rata-rata sebesar 177 poin, yang pada akhirnya menyulitkan mereka dalam mengakses pinjaman maupun peluang pekerjaan tertentu (Harrison, 2025).
Fenomena penggunaan pinjaman online (pinjol) untuk membiayai kuliah telah menjadi sorotan serius di Indonesia. Menurut laporan dari BBC News Indonesia, tercatat sebanyak 331 orang, termasuk mahasiswa dan masyarakat umum, menjadi korban dalam skema penipuan yang memanfaatkan layanan pinjaman online. Dari jumlah tersebut, berdasarkan data yang dihimpun oleh Liputan6, sebanyak 116 mahasiswa IPB secara khusus terdampak. Mereka masing-masing meminjam dana mulai dari Rp2 juta hingga belasan juta rupiah, dengan total utang yang terkumpul mencapai sekitar Rp900 juta. Kasus ini menunjukkan adanya bahaya tersembunyi di balik kerja sama antara institusi pendidikan tinggi dan platform pinjaman online seperti Danacita.
Danacita merupakan Platform Layanan Pendanaan yang di rancang khusus untuk membantu pembiayaan pendidikan, mulai dari uang pangkal, SPP, hingga biaya kursus, tanpa memerlukan jaminan maupun uang muka serta sudah berizin dan diawasi OJK, berkomitmen pada praktik responsible lending dan mengikuti pedoman AFPI. Meskipun skema ini bertujuan untuk memberikan kemudahan akses pendidikan tinggi melalui cicilan pembayaran uang kuliah tunggal (UKT), faktanya banyak mahasiswa terjerat dalam lilitan utang yang justru memperburuk kondisi finansial dan kesejahteraan mental mereka.
Pinjaman sebagai Solusi Semu untuk Biaya Pendidikan Tinggi
Skema cicilan pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) melalui pinjaman dari pihak ketiga semakin marak dalam beberapa tahun terakhir. Di tengah tekanan ekonomi pascapandemi, banyak mahasiswa dari keluarga berpenghasilan rendah mengalami kesulitan dalam melunasi UKT secara penuh. Kondisi ini dimanfaatkan oleh perusahaan teknologi finansial seperti Danacita, yang menawarkan pinjaman cepat dengan tenor dan bunga tertentu, serta bekerja sama dengan sejumlah perguruan tinggi di Indonesia.
Meskipun secara resmi diklaim sebagai solusi untuk membantu mahasiswa menyelesaikan studi tanpa harus menunda kuliah, kenyataannya skema ini mengandung risiko yang cukup tinggi. Dilihat dari laporan BBC News Indonesia (2024), banyak mahasiswa tidak sepenuhnya menyadari dampak dari perjanjian pinjaman yang mereka tandatangani. Proses pencairan yang cepat dan tanpa syarat jaminan menjadi faktor utama yang menarik perhatian. Namun, adanya biaya tambahan seperti biaya layanan platform, bunga bulanan, serta denda keterlambatan membuat jumlah yang harus dikembalikan jauh melebihi pinjaman awal. Sebagai ilustrasi, pinjaman sebesar Rp10 juta bisa membengkak menjadi lebih dari Rp13 juta dalam waktu satu tahun cicilan.
Ketidakselarasan Relasi Kuasa antara Mahasiswa dan Institusi
Permasalahan ini semakin kompleks ketika institusi pendidikan mewajibkan pembayaran minimal UKT sebagai syarat administrasi akademik. Dalam kondisi ekonomi yang terbatas, mahasiswa merasa terpaksa mengambil pinjaman agar tetap dapat mengikuti perkuliahan. Pilihan ini bukan lagi berdasarkan pertimbangan rasional, melainkan sebagai akibat dari tekanan struktural yang memaksa mereka mengambil risiko finansial tinggi demi melanjutkan studi.
Situasi ini memperlihatkan adanya ketimpangan relasi kuasa antara mahasiswa dan institusi pendidikan. Sebagai kelompok yang rentan, mahasiswa dihadapkan pada keputusan finansial besar tanpa pendampingan yang memadai, baik dari sisi hukum maupun literasi keuangan. Dalam praktiknya, kerja sama antara kampus dan penyedia pinjaman kerap dilakukan tanpa transparansi. Mahasiswa tidak diberikan ruang yang cukup untuk menolak atau memilih alternatif pembiayaan lain tanpa ancaman terhadap status akademik mereka.
Dampak Psikologis dan Sosial bagi Mahasiswa
Dalam kutipan sebuah artikel, Social determinants of mental disorders and the Sustainable Development Goals: a systematic review of reviews” yang diterbitkan di The Lancet Psychiatry pada April 2018, yang ditulis oleh Carrie Brooke‑Sumner. Dampak dari jeratan pinjaman tidak hanya bersifat finansial, tetapi juga psikologis dan sosial. Mahasiswa yang mengalami kesulitan membayar cicilan bulanan rentan mengalami stres, kecemasan, hingga gangguan tidur. Tekanan psikologis ini dapat memperburuk konsentrasi dalam belajar dan mengganggu keseimbangan kehidupan sehari-hari. Selain itu, mereka juga berisiko menghadapi stigma sosial dari lingkungan sekitar, terutama ketika utang dianggap sebagai cerminan kegagalan dalam mengelola keuangan pribadi.
Lebih jauh lagi, praktik penagihan dari pihak penyedia pinjaman atau debt collector sering kali dilakukan dengan cara yang intimidatif. Beberapa mahasiswa mengaku mendapatkan pesan bernada ancaman hingga ditelepon secara terus-menerus saat mengalami keterlambatan pembayaran. Alih-alih memberikan solusi, praktik ini justru menambah tekanan dan berpotensi menghancurkan masa depan akademik maupun kesejahteraan psikologis mahasiswa yang bersangkutan. Dalam laporannya, Sulaiman (2024) menyoroti bahwa mahasiswa yang menggunakan layanan pinjaman online berisiko mengalami berbagai masalah psikologis, termasuk stres finansial, kecemasan, dan tekanan mental.
Literasi Keuangan yang Minim: Akar Masalah Utama
Rendahnya literasi keuangan di kalangan mahasiswa menjadi akar dari permasalahan. Sebagian besar mahasiswa tidak memahami konsep bunga majemuk, struktur biaya tersembunyi, maupun risiko jangka panjang dari keterlambatan pembayaran utang. Banyak dari mereka yang berasumsi bahwa utang dapat dilunasi dengan mudah setelah lulus dan memperoleh pekerjaan, tanpa mempertimbangkan kondisi riil pasar kerja yang tidak selalu stabil. Berdasarkan data dari OJK yang dikutip Kompas (2023), literasi keuangan di kalangan pelajar dan mahasiswa hanya sekitar 47,56 %, masih di bawah rata-rata nasional 49,68 %. Dan dari sumber SNLIK (Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan) OJK – BPS 2024 mencatat literasi kelompok usia 18-25 tahun (umumnya mahasiswa) sekitar 70,19 %, dibanding 15-17 tahun (51,7 %), dan 26-35 tahun (74,8 %)
Minimnya edukasi finansial sejak dini memperparah kondisi tersebut. Oleh karena itu, penting bagi perguruan tinggi untuk memasukkan literasi keuangan sebagai bagian dari kurikulum wajib. Mahasiswa perlu dibekali dengan pengetahuan dasar pengelolaan keuangan, pemahaman terhadap kontrak, serta kemampuan membedakan antara utang produktif dan utang konsumtif. Penelitian Faradila (2023) menemukan bahwa rendahnya literasi keuangan di kalangan mahasiswa berkontribusi terhadap peningkatan penggunaan pinjaman online, yang sering kali dilakukan tanpa pemahaman yang memadai tentang risiko dan konsekuensinya
Urgensi Regulasi dan Tanggung Jawab Lembaga Pendidikan
Fenomena maraknya pinjaman online di kalangan mahasiswa mencerminkan lemahnya regulasi perlindungan konsumen jasa keuangan di sektor pendidikan. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan kolaborasi antara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dalam merancang regulasi yang lebih ketat. Regulasi ini idealnya mencakup pembatasan suku bunga, kewajiban transparansi informasi, serta penyediaan mekanisme pengaduan yang adil dan mudah diakses oleh mahasiswa.
Di sisi lain, perguruan tinggi juga perlu merevisi kebijakan pembiayaan pendidikan. Sistem pembayaran UKT minimum yang tidak mempertimbangkan kondisi ekonomi mahasiswa perlu digantikan dengan pendekatan yang lebih berkeadilan, seperti pemberian beasiswa darurat, pengurangan UKT berdasarkan kemampuan finansial, atau skema penangguhan pembayaran tanpa bunga.
Sebagai alternatif, Zachrie dkk., (2024) mengusulkan bahwa skema student loan dapat diimplementasikan secara efektif di Indonesia jika dijalankan tanpa bunga dan didukung oleh dana abadi dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), karena memiliki risiko gagal bayar yang lebih rendah dibandingkan pinjaman online komersial.
Kesimpulan
Upaya untuk meningkatkan akses pendidikan tinggi perlu diimbangi dengan perlindungan yang memadai terhadap mahasiswa sebagai kelompok yang rentan secara finansial. Menurut BPS, biaya kuliah di PTN meningkat rata-rata 1,3% per tahun dan di PTS sekitar 6,9% per tahun. Sementara itu, kenaikan pendapatan orang tua hanya 3,8% (lulusan SMA), 2,7% (sarjana) per tahun. Ketimpangan ini memperlihatkan adanya tekanan finansial yang dihadapi oleh keluarga mahasiswa. Pinjaman online, walau memberikan solusi sementara, tidak seharusnya dijadikan mekanisme utama dalam pembiayaan pendidikan. Pemerintah, Institusi Pendidikan, dan Masyarakat Sipil harus bekerja sama menciptakan sistem pembiayaan yang adil, transparan, dan berkelanjutan. Tanpa perubahan struktural dan pendekatan yang berfokus pada kesejahteraan mahasiswa, fenomena jeratan utang ini hanya akan menjadi warisan beban bagi generasi masa depan.
Sumber Referensi
- Harrison, D. (2025, May 26). Student Loans Are Back. Many Borrowers Are Falling Behind. The Wall Street Journal. https://www.wsj.com/economy/student-loans-econof6a11598
- Fingerlakes1.com. (2025, May 17). Student loan crisis deepens: Credit scores, repayment rates tumble. https://www.fingerlakes1.com/2025/05/17/student-loan-delinquency-credit-score-2025/
- Longport. (2025, February 6). Student loan impact! Morgan Stanley: Repayment squeezes consumption, US GDP may decline by 0.1% this year. https://longportapp.com/en/news/241864953
- Sattler, M. (2024). Technology-enabled solutions for student financial wellness: Harnessing digital tools to promote financial literacy and aid accessibility. SSRN. https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract id=4806727
- Rockefeller Institute of Government. (2023, March 8). The white-knuckle ride to financial literacy: Understanding your student loans. https://rockinst.org/blog/the-white-knuckle-ride-to-financial-literacy-understanding-your-student-loans/
- Liputan 6 Com. (2022, 17 November) Mahasiswa IPB terjerat pinjol ditangkap polisi di rumahnya di wilayah Kota Bogor, Jawa Barat. Tercatat, total korban penipuan mencapai 333 orang, 116 di antaranya merupakan mahasiswa IPB. https://www.liputan6.com/news/read/5128137/polisi-tangkap-penipu-ratusan-mahasiswa-ipb-hingga-terjerat-pinjol
- The White House. (2023, August 22). Fact sheet: The Biden-Harris administration launches the SAVE plan, the most affordable student loan repayment plan ever to lower monthly payments for millions of borrowers. https://bidenwhitehouse.archives.gov/briefing-room/statements-releases/2023/08/22/fact-sheet-the-biden-harris-administration-launches-the-save-plan-the-most-affordable-student-loan-repayment-plan-ever-to-lower-monthly-payments-for-millions-of-borrowers/
Penulis: Hanifah Mutmainnah

Tinggalkan komentar